Cara Dunia Bekerja II

Mereka telah melewati kota Neapolis dan kini sejajar dengan kota yang lebih kecil, yang menurut Torquatus bernama Herculaneum, walaupun sepanjang garis pantai itu dipenuhi pembangunan perumahan yang sambung – menyambung –dinding kuning tua dan atap merah, sesekali diselingi pohon – pohon cemara hijau gelap yang menjulang tinggi –sehingga tidak mudah menentukan ujung kota yang yang satu dengan yang lain. Herculaneum tampak makmur dan berpuas diri di kaki gunung megah itu, dengan jendela – jendela menghadap ke laut. Berbagai perahu rekreasi berwarna – warni, beberapa berbentuk makhluk laut, tampak di kejauhan. Terlihat pula payung – payung di pantai, orang – orang melemparkan kail dari dermaga. Musik, dan teriakan anak – anak yang bermain bola, melayang menyeberangi permukaan air yang tenang.

“Nah, itu vila terhebat di Teluk,” ujar Torquatus. Dia menganggukan kepala ke arah bangunan dengan tiang – tiang besar yang memanjang di garis pantai dan bertingkat – tingkat di atas laut. “Itu Vila Calpurnia. Aku mendapat kehormatan mengantar Kaisar ke sana bulan lalu, mengunjungi bekas konsul, Pedius Cascus.”

“Cascus?” Attilius membayangkan senator yang mirip kadal dari malam sebelumnya, gemuk dengan toganya yang bergaris ungu. “Aku tidak tahu dia sangat kaya.”

“Warisan milik istrinya, Rectina. Dia memiliki hubungan dengan klan Piso. Laksamana sering ke sini untuk memanfaatkan perpustakaannya. Kau lihat sekelompok orang di sana, membaca di bawah payung di samping kolam? Mereka itu para filsuf.”

“Dan spesies apakah para filsuf ini?”

“Pengikut Epicurus. Menurut Cascus, mereka memandang manusia makhluk fana, para dewa tidak tertarik dengan nasib manusia, dank arena itu satu – satunya yang harus dilakukan dalam hidup ini adalah menikmatinya.”

“Aku bisa mengatakan itu kepadanya dengan cuma – cuma.”

Torquatus tertawa kembali, kemudian mengenakan helm dan mengikatkan tali dagunya. “Pompeii tidak jauh lagi, Insinyur. Sekitar setengah jam.”

Dia kembali ke buritan.

Attilius melindungi matanya dan memandangi vila itu. Dia tidak pernah menyukai filsafat. Kenapa seseorang harus mewarisi istana seperti itu, sementara ada orang yang dikoyak – koyak belut, dan orang yang lain hampir patah punggungnya karena harus mengayuh kapal di dalam kegelapan yang pengap –kita bisa gila mencoba memikirkan mengapa dunia ini diatur sedemikian rupa. Mengapa dia harus menyaksikan istrinya mati di hadapannya pada usia lepas masa remaja? Tunjukkan filsuf yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan itu, dan dia akan mulai melihat kegunaannya.

Istrinya selalu ingin berlibur di Teluk Neapolis dan dia selalu menundanya, mengatakan bahwa dia terlalu sibuk. Kini semuanya terlambat. Berduka atas apa yang hilang dari dirinya dan menyesali apa yang tidak mampu dia lakukan, serangan ganda itu membuatnya melamun seperti yang selalu terjadi, dan ada rasa hampa di ulu hatinya. Sambil menatap pantai, dia teringat sepucuk surat yang pernah ditunjukkan teman kepadanya di hari pemakaman Sabina; dia telah menghafalkannya di luar kepala. Sang ahli hukum, Servius Sulpicus, lebih dari seratus tahun lalu, berlayar dari Asia ke Roma dengan hati berduka saat merenungi pantai Mediterania. Setelahnya dia mengungkapkan perasaannya itu kepada Cicero, yang juga baru kehilangan putrinya: “Di belakangku tampak Aegina, di hadapanku Megara, di sebelah kanan Piraeus, di sebelah kiri Korintus; kota – kota yang dulu makmur kini sudah menjadi reruntuhan, dan aku mulai merenung; “Bagaimana kita bisa mengeluh bila salah satu dari kita, makhluk fana ini, mati atau terbunuh, ketika jasad banyak kota dibiarkan terbengkalai. Selidiki dirimu sendiri, Servius, dan ingat bahwa kau dilahirkan tidak untuk abadi. Dapatkah hatimu tergerak begitu hebat karena hilangnya satu jiwa wanita kecil malang yang rapuh?”

Bagi Attilius, jawabannya tetap sama setelah lebih dari dua tahun: ya.

 

Dicukil dari novel “Pompeii”

Karya Robert Harris

Penerbit Gramedia Pustaka Utama

Leave a comment