Jejak Sejarah dalam Legenda

Legenda termasuk cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadi pada masa yang belum begitu lampau dan bertemoat di dunia seperti yang dikenal saat ini. Legenda kerap dianggap sebagai sejarah kolektif, walaupun telah mengalami distorsi karena tidak tertulis. Akibatnya, kisah dalam legenda kerap berbeda dengan kisah aslinya. Itulah sebabnya jika kisah dalam legenda ingin digunakan sebagai bahan rekonstruksi sejarah suatu folk, bagian-bagian legenda yang mengandung sifat-sifat folk yang bersifat pralogis harus dibersihkan.

Legenda hampir selalu bersifat migratoris. Artinya, legenda dapat berpindah-pindah sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda-beda. Selain itu, legenda kerap tersebar dalam bentuk pengelompokan. Artinya ada sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh atau suatu kejadian tertentu. Di Jawa, misalnya legenda-legenda mengnai Panji tergolong legenda siklus.

Di setiap kebudayaan, jumlah legenda lebih banyak dibandingkan dengan mite dan dongeng. Berbeda dengan mite yang tipe dasarnya terbatas, seperti penciptaan dunia dan asal muasal terjadinya kematian, tipe dasar legenda tidak terbatas. Selain itu, setiap zaman akan menymbangkan legenda-legenda baru atau sedikit-sedikit varian baru atas legenda yang lama. Berbeda dengan dongeng yang jumlahnya terbatas karena kebanyakan dongeng sebenarnya bukan dongeng yang baru, legenda yang baru mungkin saja tercipta. Hal ini dianggap berharga oleh kelompoknya untuk diabadikan menjadi legenda. Namun pola-pola tradisional tetap saja ada sehingga legenda yang kelihatannya baru tetap mirip dengan legenda yang lama.

Legenda menurut Jan Harold Brundvand dapat digolongkan dalam empat kelompok. Keempat kelompok itu adalah sebagai berikut :

  1. Legenda keagamaan. Yang termasuk kelompok legenda ini adalah legenda orang-orang saleh dan suci dari suatu agama. Misalnya legenda tentang para wali songo atau sembilan orang wali yakni legenda tentang para penyebar agama Islam pada awal mula perkembangan Islam di Jawa. Menurut legenda, para wali songo ini menggunakan wayang kulit sebagai pola dakwah untuk memperkenalkan Islam di masing-masing zamannya.
  2. Legenda alam gaib. Legenda seperti ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami oleh seseorang. Fungsinya adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhayul” atau kepercayaan rakyat. Yang termasuk dalam kategori legenda alam gaib antara lain cerita-cerita tentang pengalaman seseorang bertemu dengan makhluk-makhluk gaib, hantu, siluman, dan gejala-gejala alam yang gaib. Contohya di Bogor, Jawa Barat ada legenda tentang seorang mandor Kebun Raya Bogor yang hilang lenyap begitu saja ketika ia bertugas di sana. Menurut kepercayaan penduduk setempat, mandor itu hilang karena ia telah melangkahi setumpuk batu bata yang merupakan bekas-bekas pintu gerbang Kerajaan Pajajaran.
  3. Legenda perseorangan. Legenda perseorangan adalah cerita tentang tokoh-tokoh tertentu. Cerita tersebut dianggap oleh yang empunya cerita sebagai hal yang benar-benar terjadi. Contohnya legenda tokoh Panji di Jawa Timur. Panji adalah seorang putra raja Kerajaan Kuripan (Singasari) di Jawa Timur. Ia selalu kehilangan istrinya. Menurut Purbatjaraka, legenda Panji yang berasal dari tradisi lisan kerapkali berinteraksi dengan dongeng Ande-ande Lumut dan dongeng Kethek Oghleng (seorang pangeran yang disihir menjadi seekor monyet).
  4. Legenda setempat. Yang termasuk ke dalam golongan legenda setempat adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi. Contoh legenda setempat yang berkaitan erat dengan nama suatu tempat adalah Legenda Kuningan, Legenda Anak-anak Dalem Solo yang mengembara mencari sumber bau harum, dan Legenda Asal Mula Nama Banyuwangi. Contoh legenda setempat yang berhubungan erat dengan bentuk topografi suatu tempat adalah Legenda Tangkuban Perahu.

Baca selengkapnya Legenda Tangkuban Perahu/Legenda Sangkuriang di sini.

Jejak Sejarah dalam Mitologi

Mitologi adalah ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus di suatu kebudayaan. Bentuk sastra itu bisa berupa cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Cerita seperti ini disebut mite. Yang menjadi tokoh dalam mite adalah para dewa atau makhluk setengah dewa.

Pada umumnya mite menceritakan kisah tentang terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, dan gejala alam. Selain itu, mite antara lain juga mengisahkan tentang petualangan para dewa, hubungan kekerabatan mereka, dan kisah perang mereka.

Mite sarat dengan peristiwa keajaiban yang jauh dari fakta sejarah. Oleh karena itu, seorang ahli antropologi harus mampu menginterpretasikan peristiwa-peristiwa itu. Dia harus mencari arti di balik peristiwa itu dan indikasi-indikasi tertentu yang mengarah pada fakta sejarah. Mite dapat hidup secara lisan, dan kalau suku bangsa yang bersangkutan mengenal tulisan tradisional, dapat juga secara tertulis. Dengan mite yang hidup secara lisan, seorang peneliti harus mengumpulkan bahan dengan merekam mite itu dari mulut tokoh penduduk tertentu yang mengenal mite tersebut.

Di Indonesia, berdasarkan asal-usulnya, ada dua macam mite yang tersebar di kalangan masyarakat. Yang pertama adalah mite yang asli berasal dari Indonesia sendiri. Mite Indonesia biasanya mengisahkan tentang terjadinya alam semesta, susunan para dewa, dunia dewata, terjadinya manusia pertama, dan tokoh pembawa kebudayaan, serta terjadinya makanan pokok seperti beras. Contohnya, Dewi Sri, Nyai Roro Kidul, Joko Tarub, dan Dewi Nawangwulan. Yang kedua adalah mite yang berasal dari luar negeri, terutama dari India, Arab, dan negara sekitar Laut Tengah. Mite yang berasal dari luar negeri biasanya sudah diolah, sehingga mite itu tidak lagi terasa asing. Contohnya Ramayana, Mahabarata, Oedipus, dan Romulus.

Ada banyak mite yang hampir sama di belahan dunia. Misalnya di dalam mitologi bangsa-bangsa di dunia, tanah liat adalah bahan yang paling umum digunakan Sang Pencipta dalam menciptakan manusia. Hal ini dianut oleh berbagai pemeluk agama di dunia, seperti Islam, Kristen, Yahudi, dan Hindu. Hal yang sama juga diakui antara lain oleh bangsa Yunani, Irlandia, Siberia, Cina Polinesia, Indonesia, Australia, Eskimo, Indian Amerika Utara, dan Amerika Selatan, termasuk juga orang Aztec. Persamaan ini hanya dapat dijelaskan dengan dua kemungkinan berikut :

  1. Monogenesis yakni suatu penemuan yang diikuti oleh proses difusi atau penyebaran. Teori-teori yang tergolong monogenesis antara lain adalah Teori Grimm bersaudara, teori mitologi matahari Max Muller dan teori Indianist, Theodore Benfey. Menurut Teori Grimm, dongeng yang mereka kumpulkan di Jerman sebenarnya adalah mite yang sudah rusak (broken down myth), yang berasal dari rumpun Indo-Eropa kuno. Dalam pandangan teori mitologi matahari Max Muller, mite sesungguhnya adalah kisah pengulangan kejadian pagi dan malam. Penganut teori ini beranggapan bahwa semua mite di dunia berasal dari India. Hal yang sama juga dikatakan oleh Indianist Theory, yang dipelopori oleh Theodore Benfey. Indianist Theory beranggapan bahwa semua dongeng Eropa berasal dari India. Kemungkinan monogenesis terlihat pada kenyataan bahwa banyak mite Jawa yang berasal dari epos Mahabrata atau Ramayana.
  2. Poligenesis yakni sebagai akibat penemuan-penemuan sendiri atau yang sejajar dari motif-motif cerita yang sama, di tempat-tempat yang berlainan serta dalam masa yang berlainan maupun yang bersamaan. Teori-teori yang termasuk dalam golongan poligenesis antara lain teori survival kebudayaan, teori psikoanalisa dan teori euherisme. Teori survival kebudayaan mempunyai paham bahwa setiap kebudayaan di dunia ini mempunyai kemampuan untuk berevolusi. Itulah sebabnya setiap folk mampu melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang sama dalam setiap taraf evolusi yang sama. Masing-masing negara mampu untuk menciptakan motif cerita rakyat sendiri-sendiri. Hal ini memungkinkan adanya motif cerita rakyat yang sama dari beberapa negara. Teori psikoanalisa melihat bahwa persamaan mite-mite di berbagai tempat bukan karena penyebaran melainkan disebabkan oleh penemuan-penemuan yang berdiri sendiri. Mite-mite itu dapat mirip satu sama lainnya karena adanya kesadaran bersama yang terpendam (collective unconscius) pada setiap manusia yang diwarisi secara biologis. Kesadaran bersama ini berupa mimpi yang bertema universal. Inilah yang memungkinkan ada banyak persamaan di dalam mite-mite dari berbagai bangsa. Dalam pandangan teori Euhemerisme yang disampaikan oleh Euhemerus, manusia menciptakan para dewanya berdasarkan wajah dirinya sendiri. Menurut dia, para dewa dari mitologi pada hakekatnya adalah manusia yang didewakan, dan mite sebenarnya dalah kisah nyata orang-orang yang pernah hidup, namun kisah itu telah mengalami distorsi. Kemungkinan poligenesis terlihat pada mite-mite dari luar pulau Jawa, terutama dari daerah-daerah yang kurang disentuh oleh agama Hindu-Budha sebagaimana ditemukan dalam mite Nias tentang sejarah kedatangan leluhur marga-marga orang Nias di pulau Nias.

Berikut ini merupakan kisah yang dapat ditemukan dalam mitologi Nias.

Menurut mitologi Nias, alam serta seluruh isinya adalah ciptaan Lowalangi. Langit yang diciptakannya berlapis sembilan. Setelah selesai menciptakan semua itu, beliau kemudian menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut tora’a. Pohon itu kemudian berbuah dua buah. Setelah dierami oleh seekor laba-laba emas ciptaan Lowalangi, menetaslah sepasang dewa pertama di alam semesta. Salah seorang keturunan sepasang dewa tersebut bernama Sirao. Sirao kemudian menjadi raja di langit lapisan pertama. Letak lapisan ini paling dekat dengan bumi. Sirao mempunyai sembilan orang putra. Di antara kesembilan orang putra Sirao, timbul pertentangan untuk merebut singgasana. Untuk mencegah persoalan itu, Sirao mengadakan sayembara ketangkasan menari di atas mata sembilan tombak, yang dipancangkan di suatu lapangan di muka istana. Sayembara itu ternyata dimenangkan oleh putra bungsunya, bernama Luo Mewona. Kebetulan sekali putra bungsunya itu adalah putra yang paling dikasihi orang tuanya dan juga sangat menghormati rakyatnya. Hal ini karena ia memiliki sifat-sifat yang rendah hati, walaupun sebenarnya ia adalah seorang yang gagah perkasa dan sangat bijaksana.

Untuk menentramkan kedelapan putranya yang lain, Sirao kemudian mengabulkan permohonan mereka untuk dinidadakan (diturunkan) ke tanoniha atau tanah manusia, yang merupakan nama asli Pulau Nias. Dari kedelapan putra Sirao itu, empat orang dapat diturunkan dengan selamat, sehingga dapat menjadi leluhur mado-mado atau marga-marga orang Nias zaman sekarang.

Empat orang putra Sirao yang lain kurang beruntung. Mereka mengalami kecelakaan sewaktu proses nidada, sehingga tidak dapat mendarat dengan wajar di bumi Nias untuk menjadi leluhur orang Nias. Salah seorang dari mereka menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar yang disebut Da’o Zanaya Tano Sisagoro, Dao Zanaya Tabo Sebolo, yang berarti dialah yang menjadi penadah bumi. Jika timbul perang dan ada darah manusia yang merembes ke dalam tanah, sehingga mengenai tubuhnya, hal ini akan membuatnya sangat marah. Ia akan menggoyang-goyangkan tubuhnya, sehingga timbullah gempa bumi. Untuk menghentikan goncangan bumi, orang Nias akan berseru, “Biha Tuha! Biha Tuha!” yang artinya “Sudah nenek! Sudah nenek!” Ucapan itu diserukan dengan maksud untuk menyatakan kepada ular raksasa itu bahwa mereka telah insaf dan tidak akan saling membunuh lagi.

Putra yang lain bernama Gozo Tuhazangarofa. Waktu diturunkan ke bumi, rantainya putus sehingga ia tercebur ke dalam sungai untuk selanjutnya menjadi dewa sungai. Ia menjadi pujaan para nelayan karena ia adalah penguasa ikan-ikan.

Putra Sirao yang lain lagi, Lakindrolai Sitambalina. Ketika dia diturunkan ke bumi Nias, dia tidak jatuh ke bawah. Dia melayang terbawa angin dan tersangkut di pohon. Dia menjelma menjadi Bela Hogugeu, yaitu dewa hutan yang menjadi pujaan para pemburu.

Putra Sirao yang terakhir yang kurang beruntung bernama Sifuso Kara. Ia pada waktu diturunkan ayahnya ke bumi Nias jatuh ke daerah berbatu-batu di daerah Laraga sekarang, dan menjadi leluhur orang-orang gaib yang sakti dan kebal.

Jejak Sejarah dalam Folklore

Kata folklore berasal dari bahasa Inggris yang berasal dari 2 kata dasar, yakni folk dan lore. Folk sama artinya dengan kolektif. Dalam pandangan Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan yang sama sehingga mereka dapat dibedakan dari kelompok yang lain. Ciri-ciri itu antara lain warna kulit yang sama, warna rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Kesamaan budaya itu terlihat dari tradisi yang mereka warisi secara turun temurun dan yang mereka akui sebagai kebudayaan bersama. Selain itu, mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Sementara itu, kata lore menunjuk kepada tradisi folk, yakni sebagian kebudayaannya, yang diwarsikan secara turun-temurun melalui lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device). Secara keseluruhan, folklore merupakan istilah umum untuk aspek material, spiritual, dan verbal dari suatu kebudayaan yang ditransmisikan secara oral melalui pengamatan atau peniruan.

Ada empat fungsi folklore. Pertama, folklore sebagai sistem proyeksi,yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kelompok. Kedua, folklore sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Ketiga, folklore sebagai alat pendidikan anak-anak. Dan keempat, folklore sebagai alat pemaksa dan penggagas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.

Ciri-ciri folklore :

  1. Folklore biasanya menyebar dan diwarisi secara lisan.
  2. Folklore bersifat tradisional. Hal ini terlihat dari sistem penyebarannya yang relatif tetap.
  3. Folklore ada dalam versi berbeda, karena penyampaian secara lisan memungkinkan adanya perubahan di dalamnya.
  4. Folklore memiliki bentuk yang biasanya berumus atau berpola. Hal ini misalnya terlihat dari cerita rakyat yang selalu menggunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis, atau menggunakan kata-kata pembukaan dan penutup yang baku, seperti “menurut empunya cerita…. mereka pun mengalami kesengsaraaan….”.
  5. Folklore bersifat anonim kerena nama penciptanya tidak diketahui lagi.
  6. Folklore memiliki suatu fungsi dalam kehidupan bersama suatu masyarakat. Misalnya cerita rakyat yang sangat berguna sebagai alat pendidik, protes sosial dan proyeksi dari keinginan yang tependam.
  7. Folklore bersifat pralogis karena logikanya sendiri tidak sesuai dengan logika umum.
  8. Folklore menjadi milik bersama dari masyarakat tertentu. Hal ini diakibatkan karena penciptaannya yang pertama tidak diketahui lagi. Semua anggota masyarakat itu serasa memilikinya.
  9. Folklore pada umumnya bersifat polos dan lugu walaupun seringkali kelihatan kasar dan terlalu spontan.

Jan Harold Brunvand menggolongkan folklore ke dalam 3 golongan :

  1. Folklore lisan, yakni folklore yang bentuknya murni lisan. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan; lalu ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan pertanyaan tradisional seperti teka-teki, puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair; cerita prosa rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng; juga nyanyian rakyat.
  2. Folklore sebagian lisan, yang merupakan campuran antara unsur lisan dan bukan lisan. Yang termasuk ke dalam folklore ini antara lain adalah kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, dan pesta rakyat.
  3. Folklore bukan lisan, yaitu yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklore jenis ini terbagi atas yang material dan yang bukan material. Contoh folklore material antara lain adalah arsiteltur rakyat, kerajinan tangan rakyat, makanan dan minuman rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, dan obat-obatan tradisional. Sementara itu yang termasuk bukan material adalah gerak isyarat tradisional dan bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat seperti bunyi kentongan sebagai tanda bahaya, serta musik rakyat.

Seperti yang telah dikatakan, folklore bersifat pralogis karena logikanya sendiri tidak sesuai dengan logika umum. Di dalam folklore biasanya ada pernyataan-pernyataan yang jauh dari fakta sejarah. Perhatikan pembagian folklore menurut Jan Harold Brunvard agar lebih jelas :

  1. Folklore Murni Lisan
  • Bahasa Rakyat : logat, julukan, pangkat tradisional, titel kebangsaan.
  • Ungkapan Tradisional : peribahasa, pepatah, pameo.
  • Pertanyaan Tradisional : teka-teki.
  • Puisi Rakyat : pantun, gurindam, syair.
  • Cerita Prosa : mite, legenda, dongeng.
  1. Folklore Sebagian Lisan
  • Kepercayaan Rakyat.
  • Permainan Rakyat.
  • Teater Rakyat.
  • Tari Rakyat.
  • Adat Istiadat.
  • Upacara.
  • Pesta Rakyat.
  1. Folklore Bukan Lisan
  • Material : arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, makanan dan minuman rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh rakyat, obat-obat tradisional.
  • Bukan Material : gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat; kentungan, musik rakyat.