Wangsa Sailendra di Jawa dan di Sumatra dari Tahun 813 sampai Tahun 863 M

Huruf Palawa

Huruf Palawa

Di Jawa, sumber-sumber Cina yang menyebut untuk tahun 813 atau 815, dan tahun 818 M, utusan-utusan terakhir dari Ho-ling, menyatakan utusan-utusan pada tahun 820 dan 831 M dikirim oleh She-p’o. Hendaknya diingat bahwa She-p’o, yang pada abad ke-5 M menunjuk kepada seluruh atau sebagian Pulau Jawa, pada abad ke-8 M adalah nama ibu kota Ho-ling yang ditinggalkan antara tahun 742 dan 755 M untuk P’o-lu-chia-ssu yang letaknya lebih ke timur. Perpindahan ibu kota itu disebabkan oleh munculnya wangsa Sailendra Buddhis ke atas tahta di Jawa Tengah. Bahwa She-p’o tampil kembali pada tahun 820 M, dapat ditafsirkan atau sebagai penyatuan bagian tengah dan timur di bawah wangsa Sailendra , atau -yang jauh lebih masuk akal- sebagai berkuasanya kembali pangeran-pangeran beraliran Siva yang tadinya telah mengungsi ke timur, di bagian tengah pulau itu.

Hal yang diketahui dari pengganti-pengganti Panangkaran, pendiri Kalasan, tidak lebih dari nama-nama mereka. Prasasti dari Balitung tahun 907 M yang sudah disebut mendaftarkan tanpa memberitahukan hubungan kekerabatannya para maharaja Panunggalan, Warak dan Garung yang ada prasastinya dari tahun 819 M dan yang barangkali menjadi agamawan, suatu hal yang menjelaskan namanya Patapan dalam sebuah prasasti bertahun 850 M.

Raja yang memerintah pada tahun 824 M ialah Samaratunga yang tidak disebut dalam daftar prasasti tahun 907 M, oleh karena ia salah seorang anggota wangsa Sailendra atasan dari dinasti Snjaya yang pewarisnya adalah Balitung. Barangkali, kalau melihat kemiripan nama-nama mereka, ia harus diidentifikasi dengan Samaragrawira, putra raja Sailendra dari Jawa yang disebut dalam prasasti Nalanda.

Raja sebelum yang terakhir yang disebut dalam prasasti tahun 907 M adalah Pikatan yang ada prasastinya dari tahun 850 M. Menurut J.G. de Casparis, ia barangkali mulai memerintah kira-kira tahun 842 M. Rupanya ia juga dikenal dengan nama Kumbhayoni dan Jatiningrat. Ia menikahi Putri Pramodawardhani, yaitu anak raja Sailendra Samaratunga, suami Putri Tara dari Sriwijaya. Yang menonjol dalam pemerintahan Pikatan ialah persengketaannya dengan iparnya Balaputra, “anak bungsu” Samaragrawira alias Samaratunga. Kemenangannya atas Balaputra pada tahun 856 M kelihatannya menjadi sebab yang mendorong keberangkatan Balaputra ke Sriwijaya, negeri ibunya, Tara. Menurut prasasti Naanda (kira-kira dari tahun 860 M) pada waktu itu Sriwijaya diperintah oleh “anak bungsu” dari Samaragrawira. Maka lebih tepat dikatakan seorang raja Sailendra yang memerintah di Jawa daripada seorang raja Sailendra dari Sumatra -seperti yang akan terjadi kemudian- yang dimaksudkan dalam catatan paling kuno mengenai Maharaja dari Zabag (Javaka) dalam karya seorang penulis Arab (Ibn Khordadzbeh).

Relief candi mengisahkan tentang wangsa Sailendra

Relief candi mengisahkan tentang wangsa Sailendra

Namun kemerosotan kekuasaan wangsa Sailendra di bagian tengah Jawa, yang diiringi pulihnya kultus-kultus Hindu yang kelihatannya dalam sebuah prasasti di sekitar Prambanan (863 M), berakibat bertambah kukuhnya kekuasaan mereka di Sumatra. Hal ini tampak dalam sumber-sumber Arab dan Persia: memang sudah pasti bahwa pada abad ke-10 M, Zabag sama dengan San-fo-ch’i dari sumber Cina, artinya dengan kerajaan Sriwijaya di Sumatra.

Hal yang diketahui belakangan ini, kira-kira pada pertengahan abad ke-9 M, hanyalah bahwa “Maharaja dari Suvarnadvida” adalah seorang “anak bungsu” (Balaputra) raja dari Jawa Samaragrawira (Samaratunga), dan seorang cucu dari raja Sailendra yang disebut pada sisi kedua batu bertulis di Nakhon Si Thammarat (Ligor). Melalui ibunya Tara, ia adalah cucu dari Raja Dharmasetu yang pernah diidentifikasi dengan Dharmapala dari dinasti Pala di Benggala, tetapi jauh lebih besar kemungkinannya ia raja Sriwijaya, pemesan pendirian bangunan yang telah mendorong diukirnya prasasti pada sisi pertama batu bertulis di Nakhon Si Thammarat (Ligor). Balaputra itu mungkin sekali raja Sailendra yang pertama di Sriwijaya. Ia menyuruh bangunkan sebuah biara di India, persisnya di Nalanda. Kepada biara itu Raja Devapala, dalam tahun ke-39 dari pemerintahannya (kira-kira tahun 860 M), menyerahkan beberapa desa.

Leave a comment