Selain pada pedagang, sebetulnya Islam juga didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang dan mengajarkan ajaran tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya, di Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh, terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada tahun 974 Hijriah atau 1566 Masehi dilaporkan, ada lima kapal dari kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.
Ukhuwah yang erat antara Aceh dengan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Mekkah. Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa Khalifah Utsmaniyah. Tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga hubungan politik dan militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan ini pula yang membuat angkatan perang Utsmani membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkraman penjajah. Pemerintah Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis) dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Selain di Pulau Sumatra, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 Masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri, Muawiyah bin Abi Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah ke tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.
Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan.
Peranan Wali Songo dalam perjalanan kerajan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang adalah kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam di tanah Jawa.
Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Di wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang telah dikirim ke Nusa Tenggara dan wilayah timur Indonesia lainnya.
Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka menyebutkan, saking besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan Giri, Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tak punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram.
Meski kerajaan dan kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda, kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatra, tapi di seluruh wilayah Nusantara.
Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar. Sejarah itu pula yang mengantar kita saat ini menjadi sebuah negeri Muslim terbesar di dunia. Sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja. Kembalikan izzah Muslim Indonesia sebagai Muslim pejuang. Tegakkan kembali kebanggan Muslim Indonesia sebagai Muslim bijak, dalam, dan sabar.
Kita adalah rangkaian mata rantai dari generasi-generasi tangguh dan tahan uji. Maka sekali lagi, tekanan dari luar, pengkhianatan dari dalam, dan kesepian dalam berjuang tak seharusnya membuat kita lemah. Karena kita adalah orang-orang dengan sejarah besar. Karena kita mempunyai tugas mengembalikan sejarah yang besar.