Ketika pada tahun 671 M peziarah I-ching membuat perjalanannya yang pertama dari Cina ke India, tempat persinggahannya yang pertama, kurang dari dua puluh hari sesudah keberangkatan dari Guangzhou, adalah Fo-shih. Di sana ia tinggal selama enam bulan untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta. “Dalam kota Fo-shih yang dikelilingi benteng itu”, katanya,
“ada lebih dari seribu agamawan Buddhis yang sepenuhnya menekuni pengkajian dan amal baik. Dengan seksama mereka periksa dan pelajari semua pokok pemikiran yang mungkin ada, persis seperti di Madhyadesa (India); aturan dan upacaranya sama. Jika seorang agamawan Cina hendak pergi ke barat untuk mendengar dan membaca (teks-teks Buddhis yang asli), sebaiknya ia tinggal di Fo-shih selama setahun atau dua tahun dan di sana menerapkan aturan-aturan yang sesuai; kemudian ia dapat pergi ke India tengah”.
Waktu I-ching pulang dari india, setelah tinggal selama sepuluh tahun di universitas Nalanda, ia sekali lagi menetap empat tahun di Fo-shih antara tahun 685 dan 689 M, untuk menyalin serta menerjemahkan ke bahasa Cina teks-teks Buddhis dalam bahasa Sanskerta. Setelah membuat perjalanan pendek ke Guangzhou untuk mencari empat asisten, pada tahun 689 M ia kembali menetap di Fo-shih dan di sana ia menulis kedua karyanya “tentang ajaran kebatinan yang disampaikan dari laut-laut Selatan”.
Pada tahun 692 M, ia mengirim naskah-naskahnya ke Cina dan ia sendiri pulang pada tahun 695 M. Selama masa tinggalnya yang terakhir ini, ia mencatat dalam karyanya yang kedua bahwa Mo-lo-yu yang dia singgahi pada tahun 671 M untuk ditinggalinya selama dua bulan, “sekarang menjadi negeri Shih-li-fo-shih”.
Hendaknya diperhatikan bahwa sekelompok prasasti dalam bahasa Melayu kuno, yang empat di antaranya ditemukan di Sumatra (tiga dekat Palembang, dan satu lagi di Karang Brahi di hulu Sungai Batanghari) dan yang kelima di Kota Kapur di Pulau Bangka, memberi bukti bahwa pada tahun 683-686 M di Palembang terdapat sebuah kerajaan Buddhis yang baru saja menaklukan daerah pedalaman Jambi dan Pulau Bangka dan sedang menyiapkan ekspedisi militer melawan Jawa. Kerajaan itu bernama Sriwijaya yang dengan tepat sekali cocok dengan kerajaan (Shih-li)fo-shih yang disebut I-ching.
Candi Muara Takus, peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Prasasti tertua dari ketiga prasasti yang berasal dari Palembang itu adalah yang diukir di atas sebuah batu sungai besar yang ditemukan di Kedukan Bukit, di kaki Bukit Seguntang. Dia memberitakan bahwa pada tanggal 23 April 682 M, seorang raja berangkat naik kapal untuk melancarkan ekspedisi (siddhayatra), bahwa pada tanggal 19 Mei ia keluar dari salah satu muara bersama tentara yang bergerak baik di daratan maupun di laut, dan bahwa sebulan kemudian ia memberi kepada Sriwijaya kemenangan, kekuasaan, dan kekayaan. Teks itu banyak diperdebatkan. Ada yang menafsirkannya sebagai tindakan yang berkaitan dengan pendirian ibu kota Sriwijaya oleh sebuah armada yang datang dari luar, barangkali dari Semenanjung Tanah Melayu. Bahkan orang menganggap dapat membaca di atas batu tadi keterangan bahwa lokasi pertama Malayu terletak di Palembang, yang konon mengambil nama Sriwijaya sesudah ekspedisi itu. Raja yang pada tahun 682 M datang ke salah satu tempat suci dekat Bukit Seguntang untuk meletakkan jenis pelat syukuran itu, melakukannya sekembalinya dari suatu ekspedisi yang membawa kemenangan dan mengembalikan kekuasaan dan gengsi kepada Sriwijaya. Raja tanpa nama itu hampir pasti Jayanasa yang dua tahun kemudian, pada tanggal 23 Maret 684, mendirikan sebuah kebun buah-buahan untuk umum di Talang Tuwo, sebelah barat Palembang, 5 kilometer sebelah barat laut Bukit Seguntang. Pada kesempatan itu, ia menyuruh ukir sebuah teks yang mengungkapkan harapan semoga jasa dari pendirian kebun ini dan dari semua pembuatnya sejenis ditularkan kepada semua makhluk, dan membantu mereka sampai memperoleh pencerahan.
Adapun ketiga prasasti lainnya, yang satu di antaranya bertanggal 28 Februari 686 M, dapat dipertanyakan bukankah penaklukan-penaklukan yang disiratkan olehnya merupakan kelanjutan dari politik ekspansionis yang diperingati dalam batu sungai Kedukan Bukit. Ketiga teks itu yang untuk sebagian sama isinya, mengungkapkan ancaman dan kutukan terhadap penduduk dari Batanghari hulu (sungai wilayah Jambi yang daerah alirannya semestinya wilayah kerajaan Malayu) dan dari Bangka, jika mau membangkang terhadap raja dan terhadap pegawai-pegawai yang ditempatkan olehnya pada pucuk pemerintahan daerah.
Prasasti di Bangka berakhir dengan menyebut keberangkatan sebuah ekspedisi pada tahun 686 M melawan tanah Jawa yang memberontak. Barangkali tujuannya adalah melawan kerajaan lama Tarumanegara di seberang Selat Sunda, yang tidak disebut lagi sesudah pengiriman utusannya pada tahun 666-669 M, tetapi yang mungkin menjadi pusat tersebarnya pengaruh Sumatra ke Pulau Jawa. Hal ini kebenarannya dibuktikan pada abad berikutnya oleh prasasti Gandasuli di daerah Kedu.
Isi prasasti Kedukan Bukit, dalam prasasti ini disebutkan tahun 605 tahun Saka, yang berarti menurut perhitungan Masehi, tahun Saka 605 = 682 Masehi
Meskipun Raja Jayasana hanya disebut dalam satu dari lima prasasti itu, besar kemungkinannya semua prasasti itu berasal darinya; ekspedisi militer tahun 682 M, pendirian sebuah kebun untuk kepentingan umum pada tahun 684 M, pengukuhan kekuasaannya di barat laut dan di tenggara kerajaannya dan pengiriman sebuah ekspedisi melawan Jawa tahun 686 M. Semua peristiwa itu menandai pelbagai tahap pemerintahan seorang raja yang cenderung diduga sebagai penakluk Malayu. Barangkali saja dia pula yang mengirim utusan ke Cina pada tahun 695 M, yang pertama yang diketahui tanggalnya.
Sebelumnya, hanya disebut dengan samar-samar utusan-utusan mulai periode tahun 670-673 M; sesudahnya diketahui adanya utusan pada tahun 702, 716 dan 724 M atas nama Raja Shih-li-t’o-lo-pa-mo (Sri Indravarman), dan tahun 728 dan 742 M atas nama Raja Liu-t’eng-wei-kung.
Perluasan kekuasaan Sriwijaya, di sebelah barat laut ke arah Selat Malaka dan di sebelah tenggara ke arah Selat Sunda, merupakan petunjuk yang sangat jelas tentang incarannya terhadap kedua jalan lintasan besar antara Lautan India dan Lautan Cina. Pemilikannya akan menjamin baginya keunggulan niaga di Nusantara selama beberapa abad.
Prasasti tahun 684 M, sumber pertama yang bertanggal tentang adanya aliran Buddhisme Mahayana di India Belakang, mengisahkan tulisan I-ching mengenai pentingnya Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha, dan mengenai pelbagai aliran Buddhis di laut-laut Selatan. Ia memang menegaskan bahwa Mulasarvastivada, salah satu sekte besar dari aliran Theravada yang menggunakan bahasa Sanskerta, di tempat itu diterima secara luas, namun disebutnya adanya penganut-penganut Buddhisme Mahayana di Malayu. Dia juga mencatat adanya Yogacarabhumisastra di Sriwijaya, salah satu karya terpenting dari Asanga, pendiri aliran mistik Yogacara atau Vijnanavadin.
Adapun harapan (pranidhana) Raja Jayanasa yang mengharapkan agar manusia memperoleh kebahagiaan yang dimulai dengan kebahagiaan materiil semata-mata, tetapi sedikit demi sedikit meningkat ke tingkat moral dan ke tingkat mistik sampai pencerahan, harapan itu memberi kepada Louis de La Vallee Poussin “kesan bahwa semua ini sesuai dengan ajaran Sarvastivada Mahayana”. Bahkan dapat disangka bahwa doktrin yang tercermin dari harapan itu barangkali sudah diwarnai Tantrisme.
Peninggalan-peninggalan arkeologi daerah Palembang, meskipun agak sedikit, terutama dari segi arsitektur, menegaskan tulisan I-ching dan data-data epigrafi. Arca-arca yang ditemukan di situ semuanya bersifat Buddhis dan arca-arca Bodhisattva sangat jelas lebih banyak.
Sesudah tahun 742 M, tahun utusan terakhir dari Shih-li-fo-shih yang disebut dalam sumber-sumber Cina, pada waktu itu sebuah prasasti dalam bahasa Sanskerta yang diukir pada sisi pertama batu bertulis di Wat Sema Muang, mengungkapkan bahwa kerajaan dari Sumatra itu telah sampai di Semenanjung Tanah Melayu, di Nakhon Si Thammarat (Ligor). Di situ, membuatkan sebuah tempat pemujaan yang dipersembahkan kepada Buddha dan kepada Bodhisattva Padmapani dan Vajrapani, begitu pula beberapa bangunan lain.